Pada Maret 2018 kemarin, kami dari Badan Pusat Statistik Kabupaten
Sambas berkesempatan untuk menemani salah satu staf BPS RI ke Aruk untuk
melakukan briefing survei Impor dan
Ekspor daerah perbatasan. Aruk yang berjarak sekitar 1.5 sampai 2 jam dari
pusat Kabupaten Sambas merupakan salah satu daerah terluar Indonesia. Aruk
terletak di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Kabupaten Sambas sendiri berjarak sekitar 5 jam dari pusat ibukota Provinsi Kalimantan
Barat yaitu Kota Pontianak. Di Aruk terdapat border (batas) langsung antara Indonesia dengan Malaysia. Batas
negara di Aruk merupakan salah satu dari tujuh Pos Lintas Batas Negara (PLBN)
Terpadu. PLBN Terpadu lainnya terdapat di Entikong, Kabupaten Sanggau
Kalimantan Bara; PLBN Terpadu Motaain di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur;
PLBN Terpadu Badau di Kabupaten Kapuas Hulu, PLBN Terpadu Motamasin di
Kabupaten Malaka; PLBN Terpadu Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara, dan PLBN
Terpadu Skouw di Jayapura. Ketujuh batas tersebut baru saja diresmikan oleh
Presiden Jokowi, dan disebut sebagai Seven
Borders of Indonesia.
BPS selaku penyedia data utama di Indonesia, memilki agenda untuk
melakukan survei Ekspor dan Impor
Perbatasan. Inti dari survei itu adalah untuk melihat pelaku-pelaku usaha
ekspor dan impor di Kecamatan Sajingan Besar dan barang-barang apa saja yang
menjadi komoditas ekspor sekaligus impor dengan negara yang bersebelahan
langsung yaitu Malaysia. Hal ini dilakukan mengingat fokus pemerintahan saat
ini salah satunya adalah untuk membangun fasilitas dan akses di daerah terluar
Indonesia. Survei ini dilakukan di 11 titik daerah yang berbatasan langsung
dengan negara tetangga, seperti Kalimantan Barat (4 kabupaten) yaitu Kabupaten
Sambas, Kabupaten Sanggau, Bengkayang, dan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan
Utara di Nunukan dan Malinau, Provinsi Nusa Tenggara Timur (yang berbatasan
dengan Timor Leste) di Kabupaten Belu dan Malaka, Provinsi Papua yang berbatasan
langsung dengan Papua New Guniea di Jayapura dan Merauke. Daerah-daerah
tersebut adalah daerah yang berbatasan darat dengan Indonesia dan memungkinkan
warga negara kedua negara untuk melintas batas.
Batas negara Indonesia-Malaysia yang terdapat di Aruk yang termasuk Seven Borders of Indonesia disebut
sebagai salah satu batas dengan fasilitas paling memadai di Indonesia. Jalan
menuju ke batas negara tersebut sudah selesai pembangunannya dan akses yang mudah.
Lebar dan kondisi jalan sudah relatif baik, dan masih dilakukan pembangunan
sepanjang jalan Sambas-Aruk. Diresmikan pada 17 Maret 2017 oleh Presiden Jokowi,
batas di Aruk bergaya modern dan futuristic.
Konsep arsitekturnya mengadopsi gaya Rumah Panjang yaitu rumah tradisional Dayak,
juga dihiasi ukiran khas Dayak yang modern dan atap yang menjulang tinggi. PLBN
Terpadu di Aruk dilengkapi dengan berbagai fasilitas dari pemeriksaan terpadu,
klinik, jembatan timbang, pemindai truk, gudang sita. Selain fasilitas utama
terdapat pula monumen dan tugu batas yang bergaya modern. Monumen-monumen
tersebut sering dijadikan tempat berfoto oleh orang-orang yang kebetulan
melintas batas atau terdapat pula para wisatawan yang sengaja datang untuk
sekadar berfoto. Hal tersebut tentu merupakan suatu kebanggaan, mengingat batas
terluar suatu negara merupakan “wajah” dari Indonesia di mata dunia terutama di
mata negara tetangga. Terdapat sebuah kalimat bahwa “baik tidaknya suatu negara
dapat dilihat dari wajah daerah perbatasannya’’. Kalimat tersebut tentu sudah
mulai diilhami pemerintahan Presiden Jokowi. Oleh karena itu, dengan adanya survei daerah perbatasan ini, diharapkan
daerah-daerah terluar di Indonesia tidak hanya tertata dari segi fasilitas dan
akses, namun juga dari sisi kemandirian ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Beberapa keterangan yang kami dapat dari sejumlah pencacah dan
petugas di Kecamatan Sajingan Besar, masyarakat di daerah Sajingan Besar masih
sangat tergantung secara ekonomi dari negara tetangga. Kebutuhan pokok seperti
gula pasir, minyak goreng, makanan ringan, bahkan gas diperoleh dari negara
tetangga. Hal ini dikarenakan harga dan kualitas bahan-bahan dari Malaysia
dianggap lebih murah dan berkualitas lebih baik. Di saat bahan-bahan jadi menjadi komoditas impor yang dinikmati warga
di perbatasan, komoditas ekspor hanya berkisar pada bahan baku mentah seperti lada
dan ubur-ubur. Keprihatinan ini semakin menohok saya, ketika sepanjang jalan
menuju Kecamatan Sajingan Besar terlihat hutan milik Indonesia sudah banyak
yang rusak. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi sawit hasil ekspor Indonesia
diimpor kembali oleh Indonesia setelah diolah Malaysia. Sawit diimpor kembali
setelah menjadi minyak kemasan siap pakai, lada diimpor setelah menajadi lada
siap olah dan lain sebagainya.